APBD 2026 dalam Sorotan KUA–PPAS
Pemerintah Bojonegoro sedang membahas KUA–PPAS untuk APBD tahun 2026. Dari total pagu Rp7,8 triliun, belanja perangkat daerah masih dikuasai OPD besar seperti BPKAD, Dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan. Namun, perhatian publik justru tertuju pada satu pos anggaran yang langsung menyentuh desa: belanja bantuan keuangan (BKK).
Jika Dinas Pendidikan mengelola masa depan generasi dan Dinas PU mengerjakan jalan raya, maka BPKAD bertindak sebagai jantung fiskal. Lembaga ini mengatur aliran dana hingga ke pelosok desa. Dalam proyeksi 2026, BKK tetap jumbo di angka Rp1,46 triliun, meski statusnya masih sebatas rancangan yang akan dibahas bersama DPRD.
10 OPD dengan Proyeksi Anggaran Terbesar 2026
No | OPD | Pagu 2026 (Rp) | % dari Total |
---|---|---|---|
1 | BPKAD | 1,55 T | 19,7% |
2 | Dinas Pendidikan | 1,52 T | 19,4% |
3 | Dinas Kesehatan | 1,44 T | 18,3% |
4 | Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman & Cipta Karya | 936,25 M | 11,9% |
5 | Dinas PUPR Bina Marga & Penataan Ruang | 567,37 M | 7,2% |
6 | Dinas PU Sumber Daya Air | 239,04 M | 3,0% |
7 | Dinas Ketahanan Pangan & Pertanian | 167,39 M | 2,1% |
8 | Dinas Peternakan & Perikanan | 150,79 M | 1,9% |
9 | Dinas Perhubungan | 102,07 M | 1,3% |
10 | Dinas Sosial | 98,37 M | 1,3% |
Bantuan Wajib: Cicilan yang Tidak Bisa Ditunda
Setiap tahun, pemerintah wajib menyalurkan pos tertentu. Alokasi Dana Desa (ADD) Rp453,9 miliar dan Dana Desa (DD) Rp391,2 miliar (asumsi sama dengan tahun 2025) menyedot porsi besar. Ditambah insentif SPPT, Linmas, honor RT/RW, dan PKK, total kewajiban ini hampir menyentuh Rp903 miliar. Angka tersebut ibarat cicilan bulanan yang tidak bisa ditunda, karena menyangkut hak dasar perangkat desa dan layanan masyarakat.
Aspirasi Desa: Dinamika yang Membuat Anggaran Naik Turun
Di luar kewajiban, desa masih bisa menyampaikan usulan. Data P-APBD 2025 menunjukkan betapa kuatnya pengaruh aspirasi ini. Tahun itu, total BKK mencapai Rp1,60 triliun. Dari jumlah tersebut, jalan desa sendiri menyerap Rp583,7 miliar, jembatan Rp62 miliar, dan mobil siaga Rp11 miliar. Bahkan sarana olahraga, wisata, hingga sarpras desa mendapat porsi, meski lebih kecil.
Angka-angka ini menjelaskan mengapa belanja bantuan keuangan tampak seperti roller coaster. Besar kecilnya anggaran tidak hanya bergantung pada kebijakan kabupaten, tetapi juga pada “gelombang usulan” dari desa. Saat usulan banyak, anggaran melonjak. Sebaliknya, saat aspirasi menurun, anggaran ikut surut.
Tren Historis: Roller Coaster Anggaran Desa
Jika kita tarik garis waktu, polanya makin jelas. Tahun 2020 belanja bantuan desa berada di Rp590 miliar. Dua tahun kemudian, nilainya melesat ke Rp1,32 triliun. Tahun 2023 dan 2024, anggaran turun ke Rp1,01 triliun. Pada 2025, pos ini kembali melonjak ke Rp1,64 triliun. Proyeksi 2026 menurunkannya ke Rp1,46 triliun, lalu 2027 diperkirakan Rp1,31 triliun.
Naik turunnya angka ini seperti jalan pedesaan yang bergelombang: ada tanjakan curam saat usulan desa banyak disetujui, dan ada turunan tajam ketika prioritas anggaran bergeser.

Kritik dan Harapan: Menjaga Konsistensi untuk Desa
Di sinilah tantangan muncul. BPKAD sebagai pengatur fiskal harus memastikan konsistensi. Desa membutuhkan kepastian untuk menyusun rencana pembangunan jangka panjang. Belanja bantuan keuangan tidak boleh hanya jadi kue musiman yang besar kecilnya tergantung seberapa ramai usulan.
Sebab, bagi warga desa, belanja bantuan keuangan bukan sekadar angka di tabel APBD. Anggaran itu hadir sebagai janji nyata: jalan yang lebih aman, jembatan yang menghubungkan, mobil siaga yang menyelamatkan, hingga lapangan olahraga yang kembali menghidupkan gotong royong.
Dan meski masih sebatas proyeksi dalam KUA–PPAS, fakta bahwa Rp1,46 triliun tetap dialokasikan untuk desa menegaskan satu hal penting: desa masih menjadi prioritas utama APBD Bojonegoro 2026.
Penulis : Syafik