APBD Bojonegoro Tergantung SiLPA: Risiko Besar Menanti Bupati dan Wakil Bupati Baru

oleh 182 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by Chatgpt)

Ketika Warisan Fiskal Menjadi Beban Struktural

Saat ini, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bersama DPRD tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029. Dokumen ini akan menjadi panduan arah pembangunan lima tahunan di bawah kepemimpinan Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah.

Salah satu poin krusial dalam Rancangan Akhir RPJMD adalah persoalan pembiayaan, terutama sebagai penutup defisit anggaran. Di sinilah tantangan besar muncul. Karena selama bertahun-tahun, APBD Bojonegoro menjalankan strategi tak tertulis yang diam-diam dijadikan penopang utama belanja daerah: SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran).

Bupati dan wakil bupati baru ini belum lama dilantik pada 20 Februari 2025. Namun, sebelum arah baru benar-benar dirumuskan, mereka sudah harus mengurai warisan fiskal dari masa lalu: ketergantungan APBD terhadap SiLPA.

Grafik Naik-Turun SiLPA: Dari Berlimpah ke Tergerus

Data historis menunjukkan:

Tahun SiLPA Bojonegoro
2018 Rp 2,01 triliun
2019 Rp 2,20 triliun
2020 Rp 2,43 triliun
2021 Rp 2,83 triliun
2022 Rp 3,21 triliun
2023 Rp 2,88 triliun
2024 Rp 2,02 triliun (setelah audit BPK)

Terlihat bahwa puncak SiLPA terjadi pada 2022, lalu mengalami tren penurunan. Penurunan sebesar Rp 1,2 triliun dalam dua tahun terakhir mengindikasikan penyusutan ruang fiskal cadangan secara perlahan.

(Tangkapan Layar Bagian dari Dokumen Rancangan RPJMD Kabupaten Bojonegoro 2025-2029 hal. 164)

Dari Mana SiLPA Berasal?

Hasil audit BPK 2022 dan 2024 menunjukkan, SiLPA Bojonegoro bukan semata hasil efisiensi, tapi:

  • Pelampauan pendapatan, terutama dari:

    • Dana transfer pusat (termasuk DBH Migas, PBB, PPh 21, dan Dana Alokasi Khusus).

    • Pajak daerah (BPHTB, restoran, hotel, reklame).

  • Penghematan belanja:

    • Belanja operasi (ASN, barang/jasa).

    • Belanja modal (jalan, gedung, alat kesehatan, alat komunikasi).

  • Sisa pengeluaran pembiayaan: Belanja yang ditunda atau tidak dijalankan.

Baca Juga :   Pemkab Bojonegoro Mantapkan Arah Pembangunan 2025–2029 Lewat Ranwal RPJMD

Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan anggaran tidak dilakukan secara akurat. Target pendapatan ditetapkan rendah, sementara belanja sering gagal diserap. Akibatnya, timbullah SiLPA dalam jumlah besar.

APBD Bergantung SiLPA: Bukan Strategi Berkelanjutan

Tahun 2025 masih akan berjalan di atas rel lama: menggunakan SiLPA tahun sebelumnya (2024) yang tersisa sekitar Rp 2 triliun untuk menopang belanja 2025. Namun apa yang terjadi setelah itu?

Simulasi proyeksi fiskal 2026–2030 menunjukkan:

  • Belanja prioritas I (belanja wajib dan mengikat seperti gaji ASN) terus meningkat dari Rp 1,49 triliun (2026) ke Rp 1,58 triliun (2030).

  • Komponen belanja yang tak bisa dikurangi justru semakin besar.

  • Jika SiLPA terus turun, maka belanja prioritas II dan III (program visi-misi dan inovasi daerah) akan terdampak paling awal.

(Tangkapan Layar Bagian dari Dokumen Rancangan RPJMD Kabupaten Bojonegoro 2025-2029 hal. 198)

Dana Abadi Rp 3 Triliun: Ambisi yang Beradu dengan Realita

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro telah memiliki Perda Dana Abadi, dengan komitmen pengalokasian Rp 500 miliar per tahun selama lima tahun (2025–2030). Namun ironisnya, program ambisius ini hanya dapat terealisasi jika SiLPA tetap tinggi.

Artinya, ketergantungan pada SiLPA bukan hanya masalah masa lalu, tapi kini dikunci sebagai prasyarat masa depan. Bila strategi ini dipertahankan tanpa reformasi, maka dua pilihan pahit akan muncul:

  • Dana abadi dikorbankan demi belanja rutin.

  • Atau, program pembangunan lain yang harus dipangkas.

Baca Juga :   Turunkan Kemiskinan 8,98% di 2026: Waktunya Jujur, Waktunya Realistis

Risiko Akumulatif Mulai 2027: Ketika SiLPA Tak Lagi Aman

Dengan kecenderungan menurun, SiLPA tidak akan selamanya menyelamatkan fiskal Bojonegoro. Tahun 2026 mungkin masih aman, tapi pada 2027 dan seterusnya, risiko nyata mulai mengemuka:

  • Defisit riil bisa terjadi jika pendapatan dan belanja tidak ditata ulang.

  • Program prioritas harus dikaji ulang dan difokuskan ulang.

  • Dana abadi bisa menjadi beban, bukan penyelamat.

Warisan yang Harus Diubah

Periode 2018–2023, ketika Bojonegoro dipimpin bupati definitif sebelumnya, menunjukkan pola belanja yang tidak efisien dan tidak fokus, menghasilkan SiLPA tinggi secara sistemik. Rekrutmen ASN dan PPPK besar-besaran memperberat beban gaji pegawai—yang kini nyaris tak bisa dikurangi.

Setyo Wahono dan Nurul Azizah, sebagai pemimpin baru, mewarisi sistem fiskal yang boros dan bergantung pada dana tak pasti. Untuk bisa lepas dari ketergantungan ini, mereka harus melakukan:

  1. Reformasi sistem perencanaan anggaran.

  2. Penataan ulang belanja berbasis output dan kinerja.

  3. Evaluasi rekrutmen ASN dan manajemen belanja pegawai.

  4. Penguatan PAD secara riil, bukan asumsi.

  5. Redesain dana abadi agar fleksibel dan tidak membebani fiskal.

Lima Tahun Aman, Tapi Tidak Selamanya

Keuangan Bojonegoro masih akan terlihat “aman” dalam 3–5 tahun ke depan, selama strategi SiLPA ini dirawat dan pendapatan tetap stabil. Namun setelah itu, tanpa reformasi perencanaan dan penganggaran, Bojonegoro akan menghadapi titik kritis.

RPJMD 2025–2029 harus menjadi titik balik, bukan sekadar meneruskan warisan.

Penulis : Syafik

Sumber : Dokumen Rancangan Akhir RPJMD Kabupaten Bojonegoro 2025 – 2029.