Ketika Dana Transfer Menyusut dan Kompas Pembangunan Diuji Arah
Angin pembangunan yang selama ini mendorong kapal besar bernama Bojonegoro kini mulai berembus ke arah berbeda. Dari pusat, arah kebijakan fiskal berubah—lebih menekankan efisiensi dan rasionalisasi transfer ke daerah. Bojonegoro, yang selama ini berlayar dengan tenaga besar dari Dana Bagi Hasil (DBH) migas, tiba-tiba menghadapi kenyataan: hembusan anggaran yang dulu kencang kini melemah.
Peta jalan pembangunan lima tahun yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 menjadi kompas bagi kepemimpinan Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah. Namun, kompas sebaik apa pun akan kehilangan arah jika angin yang mendorongnya berubah. RPJMD itu disusun dengan harapan stabilitas fiskal, tetapi tahun 2026 datang membawa kabar lain — pemangkasan dana transfer hingga Rp1,67 triliun.
Pertanyaan pun muncul: mampukah Bojonegoro menyesuaikan layarnya, agar tetap berlayar menuju cita-cita pembangunan yang dijanjikan, tanpa karam di tengah gelombang kebijakan pusat?
RPJMD Bojonegoro dan Janji Lima Tahun ke Depan
RPJMD Bojonegoro telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2025. Dokumen ini menjadi peta arah kebijakan pembangunan lima tahun ke depan, turunan dari visi-misi kepala daerah terpilih.
Namun, ketika pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Prabowo–Gibran menekankan efisiensi anggaran, efeknya terasa langsung di daerah. Bagi Bojonegoro, dampak paling besar datang dari penurunan dana transfer, terutama dari pos DBH migas.
Kondisi ini membuat proyeksi pendapatan dalam RPJMD harus dievaluasi ulang. Angka-angka yang sebelumnya menjadi pegangan, kini tampak jauh dari realitas.
Denyut Fiskal yang Melemah: Migas Jadi Sumber Luka
Jika ditelusuri lebih dalam, sumber utama penurunan pendapatan Bojonegoro 2026 berasal dari pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH), terutama dari sektor minyak dan gas bumi. Berdasarkan data proyeksi transfer ke daerah, total transfer Bojonegoro turun drastis dari Rp4,75 triliun pada 2025 menjadi Rp3,29 triliun pada 2026 — berkurang Rp1,46 triliun.
Dari selisih itu, DBH migas menyumbang hampir Rp1 triliun penurunan, sementara DBH pajak juga menyusut sekitar Rp673 miliar. Di sisi lain, Dana Alokasi Umum (DAU) naik sekitar Rp228 miliar, menandakan upaya pemerintah pusat menjaga keseimbangan fiskal daerah. Namun, kenaikan itu tidak cukup menutup lubang besar akibat turunnya DBH.
Dengan demikian, denyut fiskal Bojonegoro di 2026 melemah terutama karena berkurangnya bagi hasil migas — sumber yang selama ini menjadi tulang punggung APBD.

Antara Proyeksi dan Realitas Anggaran
Selama periode 2026–2030, pendapatan transfer tetap menjadi sumber utama pendapatan daerah Bojonegoro. Nilainya cenderung stabil dengan kenaikan moderat: dari Rp4,63 triliun di 2026 menjadi Rp4,86 triliun pada 2030. Namun, di tengah ketidakpastian kebijakan pusat, angka-angka ini bisa bergeser kapan saja.
Sementara itu, total belanja daerah berada di kisaran Rp7,4 triliun per tahun, dengan belanja operasi dan belanja modal mendominasi. Artinya, ruang fiskal Bojonegoro kian sempit. Pemerintah daerah perlu menata ulang prioritas pembangunan, agar tetap sejalan dengan kemampuan keuangan daerah.
Meski Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun 2025 sebesar Rp2,8 triliun bisa menjadi penyangga sementara, pertanyaannya: sampai kapan cadangan itu mampu menutup jurang ketidakseimbangan fiskal?

Mitigasi Fiskal dan Keniscayaan Perubahan Arah
Kementerian Keuangan hingga kini belum memastikan apakah formula DBH akan kembali mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Jika tidak, maka empat tahun terakhir dalam RPJMD bisa menjadi periode yang penuh ketidakpastian.
Untuk itu, mitigasi fiskal harus menjadi prioritas. Pemerintah daerah perlu melakukan rasionalisasi APBD, meninjau kembali proyeksi pendapatan, serta menyesuaikan arah pembangunan dengan kemampuan riil.
Payung hukum untuk langkah ini sebenarnya sudah jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 memberi ruang bagi daerah untuk melakukan perubahan RPJMD jika terjadi perubahan kebijakan nasional yang berdampak langsung. Artinya, menyesuaikan arah bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk adaptasi agar kapal pembangunan tetap berlayar pada jalur yang benar.
Saat Kompas Fiskal Harus Dikalibrasi Ulang
Bojonegoro kini berada di persimpangan penting: antara menjaga konsistensi rencana atau menyesuaikan diri pada realitas fiskal baru. Seperti pelaut yang membaca arah angin, pemerintah daerah perlu mengalibrasi ulang kompas pembangunan.
Karena pada akhirnya, keberanian untuk menyesuaikan layar di tengah perubahan angin bukan sekadar strategi bertahan — melainkan tanda kebijaksanaan dalam menjaga agar kapal besar bernama Bojonegoro tetap berlayar menuju pelabuhan kesejahteraan, tanpa kehilangan arah dan harapan.
Penulis : Syafik
Sumber : Dokumen RPJMD 2025-2029