Damarinfo.com – Syekh Ibn ‘Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam.
Kitab Al Hikam disebut-sebut sebagai magnum opusnya (Adi Karya atau Maha Karya.) Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Abdullah Syarqowi, Syekh Ahmad Zarruq, Ahmad ibn Ajibah dan Muhammad Sa’id Ramadhan al Būthi. Kitab Al-Hikam merupakan karya monumental mursyid ke tiga tarekat As-Syadziliyyah, sehingga menjadi sumber utama untuk memahami ajaran tarikat As-Syadziliyyah dan termasuk disiplin ilmu dalam memahami kajian tasawuf, sehingga kitab ini menjadi karya terbaik dan komprehensif yang dikarang oleh Ibn ‘Athaillaah As-Sakandari
Hikmah-hikmah dalam kitab Al-Hikam ini laksana wahyu Ilahi. Seandainya dalam sholat dibolehkan untuk membaca selain ayat-ayat al-Quran, bait-bait dalam kitab ini sangat layak untuk itu.” Kata Tokoh Sufi, Maulana al-‘Arabi
Mustafa Bisri mendudukkan kitab ini sebagai “mutiara-mutiara cemerlang untuk meningkatkan kesadaran spiritual.” KH. Said Aqiel Siradj menilainya sebagai kitab yang “sangat penting untuk para pecinta jalan spiritual. Begitu juga dai kondang KH. Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym), menjadikan kitab Al-Hikam ini sebagai salah satu materi utama pengajiannya. Tak ketinggalan, penulis novel best sellerKetika Cinta Bertasbih, Habiburrahman el-Shirazy, mengutip nama kitab ini sebagai salah satu bagian penting dalam alur novelnya.
Dan masih banyak lagi kiai, ulama, ustadz, guru, mubaligh, dan bahkan motivator yang mengutip bait-bait hikmah Ibnu Atha’illah ini—seorang sufi legendaris asal Mesir yang hidup pada abad ke-13 M (w. 1309 M).
Inilah mahkota sastra kaum sufi, sebuah kitab rujukan utama soal tasawuf di dunia Islam yang memang tidak ringan untuk dipahami, namun terlalu sayang jika tidak diselami. Meskipun kitab Al-Hikam ini banyak diterjemahkan dalam berbagai versi, tetap saja kitab ini selalu dicari-cari orang.
Siapa Syekh Ibn ‘Atha’illah ?
Syekh Ibn ‘Atha’illah dengan nama lengkapnya Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ as-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Lahir di kota Iskandariah tahun 648 H/1250 M, lalu pindah ke Cairo dan meninggal di di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro Mesir pada 1309 M. Julukan as-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Syekh Ibnu ‘Atta’illah merupakan ulama yang ahli dalam bidang tasawuf pada zamannya, namun tidak menafikan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya ilmu tafsir, ilmu Hadist dan ilmu Ushul Fiqih. Ibn ‘Atha’illah memiliki dua guru yang berpengaruh besar terhadap dirinya dalam menjajaki ilmu tasawuf: Syekh Abu al Abbas Ahmad Ibn Umar Ibn Muhammad al Mursi dan Syekh Abu al Hasan Ali Ibn Abdillah As Syadzili, pendiri Thariqah al-Syadziliyyah.
Di usia yang masih belia, ia telah menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti ilmu nahwu, tafsir, ushul fikih, dan hadis. Bahkan, Syekh Ibnu Atha’illah masih sangat muda ketika ia terkenal sebagai salah seorang pakar fikih mazhab Maliki.
Pada masa dewasanya, Syekh Ibnu Atha’illah dikenal luas sebagai seorang alim yang menghiasi dirinya dengan berbagai disiplin ilmu yang telah dipelajarinya. Ia menumpahkan seluruh hatinya saat ia memberikan nasihat, wejangan, dan arahan sehingga setiap ucapannya sangat berpengaruh kuat hingga merasuk ke dalam jiwa. Hal ini sesuai dengan kesaksian para murid dan ulama yang hidup sezaman dengannya.
Akhirnya setelah mengalami berbagai macam fase kehidupan yang penuh dinamika intelektual dan spiritual, Ibnu Atha’illah pun dinobatkan oleh umat menjadi seorang guru ketiga Tarekat asy-Syadziliyah.
Pada tahun 709 H/1309 M, ketika ia tengah mengajar murid-muridnya, Ibnu Atha’illah pun dipanggil kembali ke hadirat Allah SWT pada usia 60 tahun. Madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
Penulis : Syafik
Dari berbagai sumber