Aksi Massa, Saat Ideologi jadi Mimpi

oleh -
Aksi demo Oktober 1998.Foto/dok.Tempo

Malam itu suasana rapat mencekam. Para aktivis mahasiswa dari beragam kampus dan organisasi yang berkumpul di Semarang mulai gelisah. Suasana itu muncul dari informasi adanya intel-intel yang berkeliaran. Isu penangkapan para aktivis mahasiswa berhembus. Baik di Jakarta maupun kota-kota lain seperti Semarang.
Meski diliputi keberanian dan heroisme, namun sejumput kekhawatiran tetap ada. Saya termasuk yang khawatir.

 


Ichwan Arifin.Foto/dok.Istimewa

Pada masa itu, bukan hal yang sulit untuk “menghilangkan” orang. Apalagi bagi saya, hanya salah satu mahasiswa. Bukan tokoh penting dalam konstelasi politik nasional maupun lokal. Tentu mudah “dihilangkan”. Jika itu terjadi, mungkin juga tidak ada kegaduhan politik. Tidak yang mencari, kecuali keluarga sendiri.

Saat itu perdebatan berlangsung alot. Bukan sekadar bicara tentang pengerahan massa untuk demonstrasi. Tapi substansi gerakan sebagai bagian dari aksi massa (massa actie). Dinihari rapat baru selesai. Sebagian besar memilih bertahan di kampus, sebagian kecil pulang ke rumah atau ke sekretariat organisasi masing-masing. Saya termasuk yang memilih bertahan di kampus. Selain rasa penat yang luar biasa, juga merasa lebih aman.

Dinamika sosial politik dimasa kekuasan Soeharto relatif stabil. Tercipta bukan karena tatanan yang demokratis tapi cengkeraman rezim hingga ke denyut nadi kehidupan rakyat. Termasuk kehidupan para aktivis. Meminjam istilahnya Pramoedya Ananta Toer, kuasa represif rezim Orba membuat rakyat seperti hidup dalam “Rumah Kaca”. Segala gerak gerik rakyat diawasi oleh aparat kekuasaan. Aktif dalam organisasi yang selalu bersikap kritis pada pemerintah bukan pilihan mayoritas mahasiswa.

Demonstrasi akhirnya dibubarkan aparat. Sebagian aktivis ditangkap, namun saat itu tidak terjadi perusakan fasilitas publik apalagi kerusuhan sosial.

Mungkin ada pihak yang menyebutnya tidak revolusioner dan tidak heroik. Tapi saya meyakini bahwa kerusuhan sosial bukanlah heroisme, apalagi ukuran revolusioner atau tidak revolusioner. Kerusuhan sosial juga bukan aksi massa.

Baca Juga :   Aksi Bojonegoro Menggugat, Demo Tolak Omnibus Law

Tan Malaka dalam “Aksi Massa; Perkakas Revolusi Kita,” menulis selama seorang percaya bahwa kemerdekaan (kalau dalam konteks saat ini dapat dibaca sebagai cita-cita politik) akan tercapai dengan jalan “putch” atau anarkisme, hal itu hanyalah impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat merupakan satu perbuatan yang menyesatkan. “Putch” itu adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak.

Aksi massa (massa actie) dan aksi massal (massale actie) sangat berbeda maknanya. Menurut Bung Karno, menggerakan ribuan orang atau ratusan ribu orang berdemonstrasi tanpa dilandasi kesadaran ideologis dan teori perjuangan bukanlah aksi massa tapi aksi massal.
Aksi massa mensyaratkan beberapa aspek penting, yaitu: pertama, kesadaran ideologis massa. Organisasi massa aksi harus dapat mendidik massa yang belum sadar (onbewust) menjadi massa yang sadar (bewust). Kedua, aksi massa harus dibimbing oleh teori perjuangan. Tidak ada tindakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Teori itu harus masuk dalam urat nadinya massa. Dilakukan melalui kursus-kursus politik, propaganda massif, dan sebagainya. Ketiga, aksi massa juga harus bisa mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa.”

Dalam pidato pembelaan dipengadilan kolonial berjudul “Indonesia Menggugat”. Bung Karno menjelaskan, aksi dengan perbuatan. Tapi tidak dengan bom, bedil, dinamit dan apa-apa yang dilarang hukum. Caranya adalah mengadakan rapat-rapat umum untuk mempengaruhi dan menggugah pendapat umum. Melakukan kursus-kursus politik, Menulis propaganda di media massa dan sebagainya.

Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Bojonegoro Menggugat menggelar aksi demonstrasi menolak Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja di Kantor DPRD Kabupaten Bojonegoro. pada 8-Oktober-2020.FotoRozikindamarinfo.com

Dari sudut kerangka kerja gerakan, demonstrasi hanya salah satu bagian dari rapat-rapat umum untuk mempengaruhi pendapat umum. Secara pararel juga harus melakukan kerja-kerja politik lainnya, seperti; secara terus menerus mendidik kesadaran ideologis massa melalui pendidikan politik. Melakukan pengembangan wacana publik dengan cara menggelontarkan gagasan melalui beragam saluran komunikasi, seperti; media massa. Penggalangan sekutu, baik taktis dan strategis wajib dilakukan, termasuk pendekatan dengan para pengambil kebijakan publik.

Baca Juga :   Soal Omnibus Law, Ini Lima Sikap Kritis DPRD Bojonegoro

Pasca reformasi, demonstrasi menjadi hal “lumrah”. Namun melihat karakteristiknya, sebagian besar lebih mengarah ke aksi massal daripada aksi massa. Jadi melihat fenomena kegaduhan demonstrasi saat ini, termasuk protes UU Cipta Karya, rasanya patut membaca kembali referensi aksi massa. Menyisakan sejumput pertanyaan, apakah ada kesadaran ideologis massa? Apa basis teori perjuangan yang melandasi aksi tersebut? Dan beragam pertanyaan lainnya terkait konsepsi aksi massa.

Wajah politik kita memang penuh anomali. Karena itu pergulatan politik harus dibaca cermat. Dibalik isu populis bisa jadi tersembunyi kepentingan elite dan para oligarki pemburu rente.
Kita dapat temukan dengan mudah kekuatan politik yang berseberangan dalam “ideologi” bisa bergandengan tangan untuk kepentingan pragmatis dan sesaat. Sementara pada saat yang sama, rakyat menjadi korban dalam bentrokan di tingkat aksi massal.

Ah, saya jadi ingat catatan diskusi dengan para aktivis lintas angkatan. Paradigma pasar dalam politik. Yaitu; tindakan politik yang berorientasi pada kepentingan pemilik modal serta “pasar politik” yang sedang banyak peminat. Meskipun bertentangan dengan ideologi yang diyakini organisasinya, selama itu menguntungkan, tetap akan dilakukan.
Mungkin benar, situasi seperti itu yang tengah terjadi saat ini. Akhirnya, ideologi pun hanya menjadi mimpi saat tidur.

Ichwan Arifin. Alumnus Pasca Sarjana UNDIP. Mantan Ketua GMNI Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *