Adipati Reksokusumo: Bupati Tangan Besi yang Menentang Kolonial di Bojonegoro

oleh 963 Dilihat
oleh
(Gedung kabupaten Bodjonegoro Tahun 1933. Gambar diambil dari sudut yang lain. Sumber : Majalah LOCAL TECHNIEK TECHNISCH ORGAAN VAN DE VEREENIGING VOOR LOCALE BELANGEN. Edisi Tahun ke 2 No 3, Juli 1933)

damarinfo.com – Pada 1 April 1905, harian Soerabaijasch Handelsblad menerbitkan laporan menarik tentang situasi di Bojonegoro , sebuah wilayah di Keresidenan Rembang pada masa kolonial. Wilayah ini bukan sekadar tempat biasa; reputasinya sebagai daerah rawan kejahatan telah lama melekat. Penduduknya kerap dicap malas, suka mencuri, dan gampang bertaikai . Namun, di tengah kekacauan itu, seorang pemimpin pribumi muncul untuk membawa stabilitas: Raden Adipati Reksokusumo , sang “Bupati Besi.” Meski ia berhasil menegakkan hukum dengan tangan besi , kepemimpinannya tidak lepas dari konflik panas dengan pejabat kolonial, termasuk Asisten Residen Ch. P. J. Blok . Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di balik layar?

Latar Belakang Sang Bupati Besi

Reksokusumo lahir dari keluarga yang tidak asing dengan dunia hukum. Ayahnya seorang jaksa kepala di Magelang, dan sejak muda ia telah menunjukkan bakat dalam kepolisian. Kariernya melesat saat ia dipercaya menangani berbagai kasus kriminal di wilayah-wilayah yang dikenal rawan kejahatan. Dari Grobogan hingga Srondol, namanya harum sebagai penegak hukum yang tegas dan tak kenal kompromi .

Pada 1889, setelah skandal perjudian yang melibatkan Tirtonoto II—pendahulunya—Reksokusumo diangkat sebagai Regent Bojonegoro . Dengan pendekatan tangan besi dan disiplin tinggi , ia membangun kembali ketertiban di wilayah yang saat itu dikenal sebagai daerah rawan kejahatan. Ia turun langsung ke lapangan, bahkan di tengah malam, untuk memastikan ketertiban tetap terjaga. Inspeksi mendadak ke pelosok desa, pengawasan ketat terhadap aparat, serta kebijakan yang tegas menjadikannya sosok yang disegani sekaligus ditakuti .

Baca Juga :   Ketika Pers Diadili: Kasus Zentgraaff dan Kritik terhadap Asisten Wedana di Bojonegoro Jaman Kolonial
(Raden Adipati Rekso koesomo )

Konflik dengan Pejabat Kolonial

Namun, ketegasan Reksokusumo sering kali dianggap terlalu dominan oleh pejabat kolonial. Perseteruan antara Reksokusumo dan Asisten Residen Blok dimulai sejak Blok menjabat pada 1902. Hubungan keduanya memanas ketika Blok menyusun laporan evaluasi yang menyoroti sisi negatif Reksokusumo. Meskipun disebut sebagai pejabat rajin dan cakap, Reksokusumo digambarkan sebagai sosok otoriter, pendendam, dan terlalu bangga pada dirinya sendiri .

Sebagai bentuk perlawanan, Reksokusumo mengajukan petisi kepada Gubernur Jenderal untuk membantah laporan tersebut. Langkah ini semakin memperkeruh hubungan antara dirinya dan Blok, serta menambah panas situasi politik di Bojonegoro. Salah satu insiden yang memicu ketegangan adalah ketika Reksokusumo menolak permintaan Blok untuk membatalkan sebuah keputusan terkait distribusi pajak desa tanpa konsultasi lebih lanjut. Selain itu, ia beberapa kali mengeluarkan perintah langsung kepada aparat pribumi tanpa melalui persetujuan asisten residen, sebuah tindakan yang dianggap menantang otoritas pejabat kolonial .

Baca Juga :   Siapa yang Babad Alas Rajekwesi?

Dampak Sosial dan Warisan

Bagi masyarakat Bojonegoro, Reksokusumo adalah pemimpin yang membawa stabilitas setelah bertahun-tahun dilanda kekacauan. Namun, bagi pejabat kolonial seperti Blok, Reksokusumo adalah ancaman terhadap sistem yang mereka kendalikan. Blok merasa terancam oleh kebijakan tangan besi sang bupati yang sering kali bertentangan dengan kepentingan kolonial.

Warisan kepemimpinan Reksokusumo tetap dikenang sebagai periode di mana Bojonegoro mengalami transformasi keamanan yang signifikan. Kisahnya adalah cerminan dari ketegangan antara pejabat pribumi dan kolonial yang terus terjadi sepanjang sejarah Hindia Belanda .

Seperti ditulis oleh Van Geuns dalam laporannya di Soerabaijasch Handelsblad , konflik ini bukan hanya soal ego atau gaya kepemimpinan, tetapi juga cermin dari tantangan kolonial yang lebih luas. Bojonegoro adalah wilayah yang sulit ditata, dipimpin oleh sosok kuat yang tidak selalu sejalan dengan penguasa Eropa. Kisah ini, lebih dari satu abad kemudian, tetap relevan sebagai potret hidup tentang kekuasaan, ambisi, dan ketegangan di masa kolonial.

Penulis: Syafik

Sumber: Artikel ini disusun berdasarkan terjemahan naskah asli dari Soerabaijasch Handelsblad tanggal 1 April 1905.

(Disclaimer :Artikel diterjemahkan dan diedit dengan bantuan AI, hasilnya tidak dapat diandalkan 100 persen)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *